Seni Mengambil Keputusan
Seni Mengambil Keputusan
Seni Mengambil Keputusan

Seni Mengambil Keputusan

Dalam berbagai skala dan bentuk, kita melihat betapa keputusan seseorang itu bisa mencengangkan, mengagumkan, membingungkan atau disesalkan. Keputusan perdana menteri Inggris untuk menuntaskan Brexit ditentang oleh sebagian rakyat Inggris, bahkan anggota timnya sendiri. Dalam bisnis, keputusan pemilihan waktu yang salah untuk meluncurkan produk baru bisa membuat produk yang sudah dirancang baik-baik, gagal di pasaran. Dalam hidup ini begitu banyak keputusan yang kita ambil sehingga kita sering tidak menyadari bahwa cara kita membuat keputusan akan mempengaruhi arah hidup dan karir kita. Kita juga sering tidak sadar bahwa kita bisa belajar untuk memperbaiki mutu keputusan kita. Alih-alih mempelajari tahap mana dalam proses pengambilan keputusan yang salah, kita malah cenderung mencari pembenaran diri ataupun kambing hitam untuk disalahkan. Kita juga sering menemui situasi di mana sebetulnya keputusan harus diambil berdasarkan kata sepakat, tetapi akhirnya malah dilakukan pemungutan suara karena begitu sulitnya mencapai kesepakatan. Bahkan tidak jarang ada yang ‘menghitung kancing’ dalam proses pengambilan keputusan. Di lain pihak kita mengagumi mereka yang bisa mengambil keputusan yang kontroversial, seperti meluncurkan produk yang ternyata menjadi booming di pasar padahal kondisi ekonomi seperti tidak mendukung.

Jeff Bezos yang dikenal sebagai salah satu orang terkaya dunia pernah menceritakan bagaimana ia mengambil keputusan. Banyak keputusan-keputusan spektakuler yang ia buat dan mencengangkan banyak orang. Ketika Amazon mengalami penumpukan stok dan kesulitan cashflow ia memutuskan membeli Zappos yang saat itu merupakan perusahaan yang tidak mempunyai stok dan sangat berorientasi servis. Keputusan ini ternyata membalik nasib Amazon untuk berjaya kembali. Pada tahun 2018 ini, Bezos kembali membuat keputusan kontroversial dengan membeli Washington Post di kala industri media sedang terpuruk. Namun dengan intervensinya, banyak ahli kemudian meramalkan The Post akan menjadi raja media pada masa mendatang. Keputusan-keputusan yang Bezos selalu jitu ini banyak didasari atas intuisi dan hati nuraninya, dan bukan analisa. Bila demikian, bagaimana pula kita mau mempelajarinya?

“The power of intuition”

Bezos mengatakan: “If you can make a decision with analysis, you should do so. But it turns out in life that your most important decisions are always made with instinct intuition, taste and heart.”

Jadi bukan berarti bahwa kita tidak perlu mempelajari teknik pengambilan keputusan yang terstruktur, melainkan banyak hal dalam pengambilan keputusan yang tidak datang dari kemampuan analisa dasar semata, seperti memetik pelajaran dari pengalaman lalu. Pertimbangan ini selalu dibawa Besoz dalam mengambil keputusan tingkat tingginya. Ia pun mengingatkan: “I believe in the power of wandering”. Mereka yang rajin mengobservasi apa yang ia lihat, dengar, lalu menelaahnya kembali, akan banyak menabung buah pikirannya sebagai modal dalam pertimbangan pengambilan keputusan. Inilah yang disebut sebagai “the act of compounding”; lihat, bandingkan, cari persamaan dan perbedaan untuk kemudian menarik kesimpulan. Dalam hal ini hendaknya kita tidak pernah berhenti lakukan dalam hidup ini. Pelajaran dari apa yang kita lihat dan dengar di lingkungan tidak pernah bisa digantikan oleh pendidikan di Harvard sekalipun.

Sebaliknya kita pun perlu memiliki patokan ilmu atau kiat yang memang bisa kita terapkan untuk waktu yang cukup panjang. Kenyataan bahwa pola membeli, pola transaksi sudah banyak berubah, tidak melunturkan keyakinan mengenai adanya beberapa rumus mendasar dalam pengambilan keputusan. Seorang konglomerat seperti Kuncoro Wibowo, pemimpin Ace Hardware Group, yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi formal, bisa dilihat sebagai professor yang sudah menyimpan berbagai rumus dalam benaknya yang didapat melalui pengalaman hidupnya. Ia tahu apakah suatu tempat akan menjadi lahan toko yang subur atau tidak, apakah sebuah produk bisa diterima pasar atau tidak. Ini semua seolah dihitung dengan rumus baku dalam benaknya. Jadi, selain proses berfikir yang dinamis, adapula hal-hal standard yang perlu dipelihara dalam pengambilan keputusan.

Kita juga tidak pernah boleh lupa akan pendekatan multidisipliner yang lebih kaya dari pada pendekatan disiplin ilmu tunggal. Tidak ada salahnya kita mendengar pendapat seorang dokter, ketika kita sedang membicarakan desain bangunan. Kebiasaan berpikir dan disiplin akan memperkaya mutu keputusan kita. Elon Musk  si penemu mobil tanpa pengemudi mengatakan: “One bit of advice: it is important to view knowledge as sort of a semantic tree — make sure you understand the fundamental principles, ie the trunk and big branches, before you get into the leaves / details or there is nothing for them to hang on to.”  Berfokuslah pada esensi sebelum menggarap bumbu-bumbu nya.

5 langkah praktis pengambilan keputusan

Seperti ungkapan: “The difference between an amateur and a professional is in their habits”, kita memang perlu mengasah kebiasaan mengambil keputusan.

Langkah pertama adalah mengingatkan diri tentang JBTD (jobs to be done) atau tujuan yang paling utama dari keputusan ini. Hal ini kita butuhkan untuk memeriksa terlebih dahulu derajat relevansi keputusan dengan tujuan yang ingin kita capai. Langkah kedua tentunya kita perlu melihat semua kemungkinan dan tindakan. Langkah ketiga, kita perlu memperbesar perhitungan kita, misalnya dengan formula 10/10/10, 10 hari, 10 bulan, sampai10 tahun dampak dari keputusan kita. Langkah ke-empat adalah melakukan riset, apakah keputusan serupa pernah diambil dan bagaimana kita bisa lebih menyempurnakannya lagi. Langkah terakhir, tuangkan dalam catatan proses keputusan ini diambil untuk menghitung kembali semua pertimbangan kita. Sesudah itu tinggal mendorong diri kita untuk mengimplementasikannya dengan tepat. Most big events in our lives aren’t caused by one simple explanation; they are the result of an interplay of factors.

Sumber : Harian Kompas Karier 1 Desember 2018 oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob.

Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar