Belajar Keuangan dari Film ”How to Make Millions Before Grandma Dies”
Belajar Keuangan dari Film ”How to Make Millions Before Grandma Dies”
Belajar Keuangan dari Film ”How to Make Millions Before Grandma Dies”

Film drama keluarga dari Thailand, How to Make Millions Before Grandma Dies yang kini tengah tayang di Tanah Air berhasil mengundang orang berbondong-bondong datang ke bisokop untuk menontonnya. Tak hanya berhasil mengundang simpati dan air mata, film ini juga mengandung banyak pelajaran tentang perencanaan keuangan agar hidup kita dan keluarga bisa lebih bahagia sejahtera.

Mengutip data Klikfilm, pihak yang membawa film ini ke Indonesia, sampai dengan Sabtu (25/5/2024), film ini telah ditonton 1,35 juta kali sejak tayang perdana pada 15 Mei 2024 di bioskop seluruh Indonesia. Catatan ini membuat film tersebut menjadi film Thailand terlaris yang pernah ditayangkan di layar lebar Indonesia.

Saking laris dan viralnya film ini di media sosial, Falcon Pictures bahkan sampai membawa sang sutradara film, Pat Boonnitipa, mengadakan jumpa pers di Jakarta pada Sabtu kemarin. Jumlah penonton masih berpotensi bertambah mengingat sampai saat tulisan ini ditayangkan, film ini masih tayang di sejumlah bioskop.

Film How to Make Millions Before Grandma Dies bercerita tentang seorang pemuda pengangguran dan drop out sekolah yang saban hari berharap peruntungannya dari konten kreator game. Suatu hari, M, pemuda itu, tiba-tiba harus ”banting stir” merawat neneknya yang sakit kanker.


Di balik sikap baiknya itu, M sebetulnya ingin menjadi cucu kesayangan neneknya. Dengan harapan, ia bisa mendapatkan warisan tanpa harus bekerja keras. Terlepas dari ceritanya yang mengharu biru dan larisnya film ini di layar lebar Indonesia, ada aspek lain yang bisa menjadi pelajaran untuk masyarakat, yakni soal perencanaan keuangan. Melalui perencanaan keuangan yang lebih matang, keluarga-keluarga bisa hidup bahagia dan sejahtera.

Dalam film ini, Amah, sang nenek yang sudah berusia senja, hidup sederhana di tengah segala keterbatasan ekonomi. Setiap hari, dia masih harus berjualan kue di pasar untuk menyambung hidupnya. Bahkan, kala sudah mengetahui dirinya mengidap kanker stadium akhir, Amah masih rutin bangun dini hari untuk mempersiapkan kue jualannya. Mendiang suami Amah tidak meninggalkan uang yang cukup untuk Amah. Sementara tiga anak Amah juga disibukkan dengan urusan finansial hidupnya masing-masing. Saat Amah divonis kanker, akhirnya anak-anaknya pun harus bergantian membiayai pengobatan kemoterapinya.

Dari cerita ini, kita bisa belajar pentingnya untuk merencanakan persiapan dana untuk hari tua. Dalam artikelnya di Kompas (18/5/2024), perencana keuangan Prita Hapsari Ghozie mengatakan, usia lanjut sejatinya sudah memasuki masa purnakarya atau sudah masa pascaproduktif. Oleh karena itu, idealnya, seseorang menyiapkan dana di hari tua sejak masa produktifnya.

Pada usia 20-an, seseorang idealnya mulai menabung dan berinvestasi. Adapun pada usia 30-an, seseorang idealnya terus mengembangkan kemampuan dan keterampilan agar punya nilai lebih. Lantas pada usia 40-an makin memiliki jejaring yang lebih luas. Ini semua jadi modal untuk memasuki masa purnakarya usia dekade berikutnya.

Selain itu, masih merujuk artikel Prita, secara umum, setiap karyawan juga sangat disarankan untuk mengikuti program dari BP Jamsostek. Dengan demikian, setidaknya ada 5,7 persen dari penghasilan yang dipastikan masuk ke tabungan Jaminan Hari Tua.

Karyawan juga dapat mengikuti program Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) secara sukarela. Apalagi, iuran, hasil pengembangan, serta pembayaran manfaat pensiun kelak juga memperoleh insentif pajak dari pemerintah. Alternatif yang juga dianjurkan adalah membangun dana pensiun secara mandiri yang dilakukan hingga pensiun.

Tak hanya menyiapkan dana di hari tua, hal yang juga tak kalah penting adalah menyiapkan asuransi. Dengan menjadi nasabah asuransi, biaya pengobatan berbagai penyakit bisa ditanggung perusahaan asuransi.

Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon dalam berbagai kesempatan kerap mengingatkan, semakin bertambah umur, risiko semakin bertambah khususnya dalam hal kesehatan. Semakin tua, kita akan rentan terkena penyakit dan komplikasi. Persiapan asuransi akan membuat kita lebih tenang jika jatuh sakit dan tidak membebani keluarga.


Pelajaran keuangan lainnya yang bisa diambil dari film ini adalah soal aset dan utang. Di film, M secara eksplisit dalam percakapan dengan sepupunya menganggap neneknya itu seperti halnya aset investasi.

M berharap ketika Amah meninggal, warisan rumah yang walau tak seberapa itu bisa menjadi miliknya. Sebab, ia sudah menjadi cucu baik yang telah merawat sang nenek. Ibarat aset investasi, ketika sudah jatuh tempo akan memberikan imbal hasil.

Meski demikian, kenyataan berbeda dengan harapan. Amah malah mewariskan rumah itu kepada anak bungsunya atau paman dari M. M memang akhirnya tersadar untuk sungguh-sungguh merawat neneknya tanpa pamrih.

Dia tetap saja kecewa karena Amah malah memberikan rumah warisan itu kepada si Paman. Padahal, pamannya itu hobi berjudi dan tengah dililit utang menggunung dari lintah darat.

Relasi keluarga memang tidak sama dengan logika instrumen investasi keuangan. Keputusan Amah didasarkan atas rasa cinta dan tanggung jawabnya sebagai ibu untuk tetap membantu anaknya walau sudah dewasa dan penuh kesalahan sekalipun.

Seketika setelah rumah warisan jadi milik si Paman, dia langsung menjualnya untuk melunasi utangnya. Langkah si Paman ini sejalan dengan konsep ilmu akuntansi.

Dalam ilmu akuntansi, kita mengenal aset merupakan dari gabungan modal atau ekuitas ditambah utang. Namun, ketika ekuitas itu nihil, sedangkan utang menumpuk, perlu penjualan aset untuk menutup utang.

Sumber artikel : https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/05/26/belajar-keuangan-dari-film-how-to-make-millions-before-grandma-dies?status=sukses_login

Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar