Belajar dari Jam Dinding dan Cermin
Belajar dari Jam Dinding dan Cermin
Belajar dari Jam Dinding dan Cermin

Belajar dari Jam Dinding dan Cermin


Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan menghadiri seminar. Pembicaranya adalah seorang pemimpin yang saya kagumi, yang saat ini menjabat sebagai direktur di salah satu perusahaan terbesar di Indonesia.Ia mengatakan, "Ketika merenovasi rumah, saya sengaja menaruh banyak jam dinding dan cermin di rumah saya. Jam untuk megingatkan bahwa waktu itu singkat dan cermin untuk mengingakan untuk banyak-banyak becermin dan refleksi diri."

Seminar itu sudah sekitar sepuluh tahun yang lalu, tetapi kata-katanya masih terus saya ingat. Waktu bergerak dengan sangat cepat dan kalau tidak sering-seirng refleksi diri, bisa-bisa kita sudah tertinggal jauh tanpa menyadarinya.

inilah yang oleh Peter Senge disebut sebagai personal mastery, dalam bukunya The Fifth Discipline, sebagai salah satu dari lima prasyarat bagi sebuah organisasi untuk menjadi learning organization (keempat lainnya adalah system thinking, mental models, shared vision, dan team learning). Personal mastery adalah komitmen dari seorang individu untuk terus belajar. Walaupun kedengarannya sederhana, ini adalah kunci bagi sebuah organisasi untuk menciptakan competitive advantage. Ketika orang-orang di dalam organisasi mampu untuk lebih cepat belajar dibandingkan para pesaingnya, organisasi itu akan lebih sigap untuk memanfaatkan setiap peluang yang muncul dan akan muncul sebagai pemenang di tengah cepatnya gelombang perubahan yang terjadi.

Untuk itu, tentu saja belajar bukan hanya berarti "mengetahui sesuatu" dan berhenti sampai di situ, tetapi juga terus-menerus meningkatkan kompetensi dan kapasitas diri serta menerapkannya secara produktif dan bermanfaat untuk mengejar visi.

Berbicara tentang visi, coba bayangkan sejenak, kedua tangan kita diikat oleh sebuah karet gelang dan kita mencoba merenggangkannya. Semakin jauh kita merenggangkannya, teganggan di karet gelang itu akan semakin kencang.

Tangan kiri kita melambangkan realitas saat ini dan tangan kanan adalah visi. Tegangan terjadi ketika realitas yang ada semakin jauh dari visi. Ketegangan inilah yang disebut sebagai creative tension, sebuah energi kreatif yang mendorong untuk terus belajar dan bergerak ke arah pencapaian visi. Kegagalan yang dialami di sepanjang perjalanan ini adalah sebuah kesempatan untuk belajar dan terus memperbaiki strategi dan pendekatan kita dalam upaya mencapai visi itu.

Tentu saja, proses belajar seperti ini bersifat individual dan tidak bisa dipaksakan oleh organisasi. Yang dapat dilakukan organisasi adalah menyiapkan wadah yang subur agar setiap orang di dalamnya dapat belajar secara optimal. Caranya adalah memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menjadi kreatif, mengekspresikan dirinya untuk mencoba sesuatu yang baru, mengalami kegagalan, belajar darinya, dan mencoba lagi dengan cara yang berbeda. Ketika organisasi melakukan hal ini, energi kreatif yang dimiliki setiap orang di dalamnya dapat disalurkan secara positif, dan inovasi bukan lagi sekadar jargon atau angan-angan yang tidak dapat dicapai.

Inilah peran penting bagi corporate university pada zaman milenial ini. Ketika "budaya belajar" ini sudah tertanam dan berakar di dalam organisasi, organisasi itu dapat disebut sebagai organisasi pembelajar.

Dari mana kita bisa memulainya? Seperti sudah sering kita dengar, mari kita memulainya dari diri sendiri. Di mana pun posisi kita saat ini, marilah kita terus mengingat detak jam dinding begitu cepat dan tidak bisa dihentikan. Kita perlu menggunakan waktu yang ada ini untuk terus becermin dan belajar untuk bisa menjadi semakin baik sehingga organisasi kita dapat pula satu langkah lebih dekat untuk menjadi learning organization.


Oleh: Daniel Wirajaya dalam harian Kompas 20 Juli 2019


Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar