Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini
Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini
Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini

Saya menghitung begitu lamanya kita ‘di rumah saja’ dari berapa kali saya melakukan hal-hal rutin yang tadinya dikerjakan berulang secara periodik tanpa disadari.

Hal-hal otomatis kerja batang otak akhirnya masuk ke otak depan sebagai kesadaran: sudah enam kali ganti sarung bantal yang menjadi kebiasaan di akhir minggu. Sudah mengganti 1 tube pasta gigi yang biasanya habis dalam kisaran enam minggu juga. Artinya, saya sudah satu-setengah bulan tidak praktik normal di kamar praktik, kecuali online dengan pasien yang tidak membutuhkan pemeriksaan fisik.

Satu setengah bulan sama sekali tidak ke restoran, satu setengah bulan tidak ke pasar, bahkan satu setengah bulan saya tidak ‘cipika-cipiki’ kecuali dengan suami dan anak serumah. Dalam teori perubahan perilaku, jika saya tambahkan satu setengah bulan lebih lama lagi kebiasaan ini, artinya tiga bulan penuh saya menjalani sebagai rutin yang baru, maka secara teoritis kebiasaan baru saya ini akan menjadi perilaku menetap. Bisa dibayangkan, jika perubahan tersebut berkaitan dengan kebiasaan makan dan cara berinteraksi di masyarakat. Termasuk cara bekerja dan cara anak-anak belajar.

Saya saja merasakan waktu yang dihabiskan dengan memegang gawai jauh berlipat ganda hingga menderita nyeri otot sternocleidomastoideus. Tidak ada penilaian baik, buruk, benar, salah, yang pasti bagaimana kita nantinya, semua ditentukan dari hari ini. Ada beberapa teman yang bilang dengan bekerja di rumah, ia justru lebih produktif dan kreatif, minimal semangat kerja tidak dipatahkan gara-gara keburu kesal dengan macet dan bertemu dengan orang-orang yang ‘bikin bete pagi-pagi’. Sebaliknya, ada juga yang mengeluh tidak bisa konsentrasi karena terlalu banyak “pengalihan domestik”: tiba-tiba diminta istri mengecek mesin cuci sudah berhenti belum, tiba-tiba anak menarik-narik baju minta dipuji hasil lukisannya, hingga kucing yang menginjak laptop karena merasa diremehkan majikannya.

Satu hal yang amat merisaukan saya: berbagai anjuran hingga protokol kerap kali sepertinya ditujukan bagi ‘kalangan yang baik-baik saja’. Punya kamar ekstra buat isolasi mandiri. Punya tisu buat matikan keran selepas cuci tangan pakai sabun 20 detik dengan benar. Punya kuota, sinyal bagus dan perangkat gawai buat si anak belajar dari rumah. Lalu tiba-tiba disrupsi terjadi: saat pemerintah mulai membagi sembako, semua kenyataan muncul. Banyak orang masih berebut pembagian. Padahal, logikanya, jika mereka yang mematuhi semua protokol lengkap itu benar ada dan nyata, maka fenomena berebut sembako tak mungkin terjadi. Sebab, mereka masih hidup mapan, bahkan patuh dengan istilah jaga jarak fisik aman. Betul, bagaimana pun kondisi riil suatu negara, protokol tetap harus dibuat. Tapi perkara dipatuhi, tentu realitas bicara.

Ada beberapa hal yang ‘tidak fit in’ dalam konteks masyarakat kita, yang sudah biasanya ‘kayak begitu’ – seperti berebut donasi hingga atensi. Dari berebut bicara di forum terhormat hingga berlomba siapa paling depan di semua antrian. Jika gubernur sempat dihujat dengan uji coba kejutan publik DKI disuruh menerapkan jarak aman di halte trans Jakarta, bayangkan siapa lagi yang bakal kena semprot penumpang pesawat jika dipaksa antri 1.5 meter kiri-kanan depan-belakang waktu ambil bagasi di karousel bandara, yang dalam kondisi normal saja bisa lelet setengah mati.

Memakai masker, gampang. Tapi memakainya dengan benar agar tujuan tercapai – itu soal belakang. Bukankah begitu? Bahkan para pejabat tidak mencontohkan pemakaian masker sesuai aturan, mulai dari hiasan leher atau menggantung di dagu, yang menurut para pakar justru menyebabkan apa yang menempel di bagian luar masker mengontaminasi pemakainya. Padahal, dengan mudah masker dilepas dan dilipat dengan benar masuk ke dalam kantong – jika mau diwawancara daring, agar nampak sopan. Tak heran semua anjuran nampak seperti slogan. Begitu juga dengan anjuran gizi seimbang. Buat yang sudah terlanjur mendapat sembako berisi makanan instan dan kaleng sarden, malah bertanya: Mi goreng campur sarden sehat juga kan? Sementara itu petani dan nelayan di pesisir menjerit, karena sepi pembeli – yang rupanya pembeli mereka bisa jadi bukan untuk konsumsi langsung masyarakat, melainkan dijadikan makanan proses. Saat bisnis prosesan tunggang langgang, petani dan nelayan otomatis tumbang.


Saya bisa menyetujui dan amat paham, bila dalam kondisi satu setengah bulan ini semua pihak sama-sama gagap. Mulai dari petinggi pemerintahan, akademisi, pakar profesi hingga masyarakat awam. Tapi perlu ada yang mengingatkan, bahwa di saat kritis ini, kita sama-sama meletakkan sejarah, titik tolak baru, yang apabila penerapannya salah, maka ibarat karma yang tak akan selesai. Membuat keputusan, menyusun petunjuk pelaksanaan, bukan hal yang mudah. Indonesia, jauh berbeda dengan Singapura apalagi Australia. Mulai dari situasi geografis hingga latar belakang etnis. Itu sebabnya dibutuhkan keterampilan sekaligus kecerdasan tingkat tinggi untuk menyiasati kondisi pandemi. Belum lagi literasi ‘seadanya’ – yang membuat jari dan mata bertindak lebih cepat untuk meneruskan berita ketimbang penggunaan logika. Jadi tak heran yang dicari justru referensi soal jahe sebagai penangkal virus dan dibesar-besarkan ketimbang perubahan perilaku yang sungguh-sungguh terbukti membuat transmisi infeksi berhenti. Tiga bulan, adalah waktu yang amat krusial untuk membuat bagaimana kita bisa lolos dari pandemi dan bagaimana kebiasaan baru bisa membentuk normalitas perilaku baru. Tiga bulan takut ke dokter, berarti orang-orang dengan penyakit kronis berada dalam krisis yang bisa jadi tidak dipahami, baik oleh penderita maupun keluarganya. Apalagi jika selama isolasi, makan pun suka-suka sendiri. Tanpa pengecekan dokter dan hasil lab yang minimal bikin tahu diri – itulah sebabnya, kenapa penderita hipertensi dan diabetes yang diam-diam menggemuk selama di rumah berakhir fatal. Apalagi, penelitian terbaru menyebut sel lemak menjadi sel target menempelnya virus Covid-19 dalam tubuh manusia. Beberapa pasien bahkan nekat mengganti-ganti obatnya sendiri, setelah membaca sana-sini bahwa ‘obat kimia bahaya’ – sehingga di zaman serba jamu ini, semua penyakit nampak ringan ‘dihajar’ jamu sapu jagad. Baca juga: Mengapa Harus Menjaga Kesehatan Jantung Selama Pandemi Covid-19? Mentalitas serupa ini tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan dan metropolitan, yang jika ada apa-apa masih bisa panggil ambulans. Tapi sudah merangsek hingga pelosok, bahkan jauh sebelum pandemi, saat ada gubernur mewajibkan daun kelor dimakan semua perempuan yang siap kawin sebagai pencegah stunting – dan tidak ada petinggi yang berani mengoreksi beliau. Kita belum selesai dengan masalah-masalah ngeri di tanah air yang berkaitan dengan gizi. Wajah malnutrisi seharusnya tidak boleh menghantui pasca pandemi. Pembenahan dini harus segera dilakukan, walaupun donasi emergensi tetap tidak bisa dinafikkan, bukan dibiasakan. Apabila krisis ekonomi berkepanjangan, maka strategi memuliakan gizi harus dipikirkan. Gizi yang berpihak dengan masyarakat masa depan, bukan keuntungan segelintir orang mapan yang justru kerap mencatut alasan ‘demi masyarakat’ sebagai kesinambungan perusahaan. Saya masih optimis dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang bisa dibangun: agar berhemat sekaligus sehat, banyak yang mulai masak sendiri di rumah, belajar mengenal bumbu yang bisa diracik sendiri ketimbang beli yang serba praktis dan instan. Kian banyak yang mengadopsi kampanye ‘Tinggalkan kemasan, tingkatkan kupasan!’.

Sumber : https://lifestyle.kompas.com/read/2020/05/13/081500520/bagaimana-kita-pasca-pandemi-tergantung-kita-hari-ini?page=1

Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar