Professor itu bernama Bernard Herzog. Berijasah dokter, mendalami spesialis bedah, Doktor nya dalam bidang kanker, dan belajar ilmu kejiwaan di universitas-universitas di Perancis. Saya menjadi penterjemahnya pada tahun 1991, saat dia liburan ke Indonesia. Di sela-sela liburannya, dia menyempatkan diri menerima pasien.
Saat sarapan, dia sempat bercerita,”Kita semua ini adalah manusia-manusia sehat, Pam. Pikiran kita lah yang membuat kita sakit. Dan sebenarnya pikiran kita asalnya juga sehat, orang lain lah yang membuat pikiran kita sakit.” Jean-Paul Sartre (1905-1980), seorang pengarang dan filosof terkenal dari Perancis , pernah menulis dalam bukunya (“HUIS CLOS”, 1944) ,”L’enfer, c’est les autres.” Neraka adalah orang lain. Maksudnya, penderitaan itu berasal dari orang lain. Dan selama kita bisa berdamai dengan diri sendiri, kita akan bahagia.
Pasien pertamanya adalah seorang ibu rumah tangga beranak dua. Dia migraine, sakit kepala luar biasa, dan tidak bisa tidur. Lama-lama ketergantungan sama obat tidur. Bahkan kemudian obat tidur pun tidak mempan. Ketidakmampuan beristirahat membawa penyakit penyakit yang lain, semakin lama semakin parah. Malah ingin bunuh diri, karena tidak tahan dengan penyakitnya.
Bernard Herzog hanya menanyakan bagaimana kehidupannya sehari-hari. Ibu itu bercerita tentang kehidupannya, setiap hari, membantu suaminya, mengurusi anak-anaknya, berteman dengan tetangga-tetangganya. Ternyata Bernard mampu menatap ekspresi wajah Ibu itu. Saat bercerita tentang tetangga-tetangganya wajahnya biasa saja, saat bercerita tentang anak-anaknya wajahnya bahkan bersinar cerah bahagia, tetapi saat bercerita tentang suaminya, terlihat ada depresi di situ,. Bernard terus bertanya tentang suaminya. Dia bercerita, depresi nya terus bertambah, sampai akhirnya menangis tersedu-sedu, tak tertahankan.
Setelah beberapa jam dialog, akhirnya Bernard menyimpulkan bahwa sebenarnya ibu itu sehat, sakitnya berasal dari tertekan (dan depresinya) saat menghadapi suaminya setiap hari, bertahun-tahun, tekanan itu bergulung-gulung terus, tiada berhenti. Lama-lama menjadi bendungan yang jebol dan tak tertahankan. Menjadi penyakit berat yang sekarang dialaminya. Bernard menjelaskan pada ibu itu tentang kesimpulannya.
“Terus apa yang harus saya lakukan, Prof?” tanya Ibu itu.
“Hanya ada dua alternative. Kamu bisa membuat suamimu berubah. Atau kami bisa meninggalkannya. Kalau tidak sakitmu tak akan pernah berhenti, bahkan akan semakin parah sampai akhirnya akan membahayakan jiwamu.”
Ibu itu menjalankan nasihat tersebut. Dia berdiskusi dengan suaminya, berharap suaminya berubah. Enam bulan kemudian, saat tak ada perubahan berarti, ibu itu mengambil langkah drastis, pergi meninggalkan suaminya, mengajak dua anaknya, lari ke rumah sepupunya, di sebuah kota di Sumatra. Tanpa diketahui keberadaanya oleh suaminya. Kemudian ibu itu membuka usaha menjahit, sampai akhirnya memproduksi busana dalam jumlah yang sangat besar. Puluhan tahun kemudian, ibu itu menjadi pengusaha sukses, kedua anak perempuannya menjadi dokter terkemuka di kota tersebut. Akhirnya ibu itu bahagia dan sehat wal afiat, bersama kedua anaknya.
Kasus kedua adalah seorang anak yang depresi berat, sangat tertekan. Sampai sering marah-marah tak tertahankan, menangis berguling-guling, teriak-teriak di depan umum, malam tak bisa tidur, mimpi buruk dan teriak-teriak. Sering demam tinggi. Professor Bernard Herzog berdialog dengan anak itu bersama kedua orang tuanya. Setelah dua jam berdiskusi, dia mengajak suaminya berbicara sendiri (dengan bantuan saya sebagai penterjemahnya).
“Anak anda sehat. Istri anda yang sakit jiwa. Dan dia memperlakukan anak anda dengan tidak baik. Anak anda tertekan berat. Anda tidak berdaya. Karena anda takut dia. Anda terlalu menyayangi istri anda, dan tidak berani melarangnya. Istri anda sangat berani pada anda, sangat tega sama anak anda. Dia sakit jiwa.”
“Apa yang harus saya lakukan untuk menyembuhkan ?”. “Hanya ada dua acara. Anda pisahkan istri anda dari anak anda. Atau anda ceraikan dia. Atau anak anda akan sakit depresi seumur hidupnya.”
Suami itu mengajak istrinya berkonsultasi ke ahlinya. Ternyata memang ada gejala gangguan jiwa pada istrinya. Psikiater menyarankan dia dirawat di sebuah rumah sakit Jiwa. Untunglah Psikiater berhasil meyakinkan istrinya. Dengan berat hati , suaminya melepaskan istrinya. Dia merawat anaknya dengan bantuan ibunya (nenek dari anak itu). Kondisi anak mereka mulai membaik. Dua tahun kemudian, kondisi istrinya membaik, dan sudah bisa keluar dari rumah sakit jiwa, kembali bersama mereka. Mereka hidup berbahagia setelah itu.
Satu-persatu, masalah mereka di analisa. Ada yang bermasalah dengan suami, atau dengan mertua, dengan tetangga, boss, kolega, ibu, ayah, atau anak sendiri. Selesaikan masalah itu atau tinggalkan.
It is about accepting the things we cannot change, the courage to change the things we can, and wisdom to know the difference (kata Reinhold Niebuhr).
Professor Bernard Herzog bercerita ke saya,”Dunia ini seperti pasar. Di pasar banyak sayur dan makanan yang sehat. Kalau kita memilih untuk makan yang sehat, maka badan kita penuh energi dan kita akan sehat. Tetapi di pasar juga ada tempat sampah. Ada makanan basi, lalat, bahkan kotoran binatang. Kalau kita berdekat-dekatan dengan tempat sampah, kita menghirup udara yang bau dan kita muntah-muntah. Kalau kita bahkan memakan makanan yang basi atau beracun, kita akan diare dan mencret. Salah siapa? Salah kita sendiri.”
Dunia juga berisi dengan lingkungan, manusia-manusia yang berenergi positif, yang harus kita dekati, dan lingkungan (manusia-manusia) yang toxix, berenergi negative, bahkan mengandung racun bagi pikiran kita, mereka harus kita jauhi. Kalau kita dekat-dekat dengan mereka, ya salah kita sendiri kalau kita sakit. Dimulai dengan sakit pada pikiran, tidak bisa beristirahat, lama-lama depresi, lama lama sakit pada fisik, dan akan terus bertambah parah kalau kita diamkan.”
“Terus apa yang harus kita lakukan?” tanya saya. Dia menjawab,“Selesaikan masalah anda dengan mereka, atau tinggalkan mereka.”. Mereka itu adalah manusia-manusia di sekitar kita. Orangtua kita, saudara kandung, suami , istri, anak, keponakan, keluarga, boss, anak buah, kolega, tetangga, atau siapapun mereka yang ada di dekat kita setiap hari. Berarti kita juga harus mengaca diri, kalau ada orang sakit di sekitar kita, jangan-jangan kita yang membuat mereka sakit. Apakah kita bisa memperbaiki hubungan kita dengan mereka, dan membantu menyembuhkan mereka.
Ingat kata Jean-Paul Sartre. Neraka (penderitaan) itu (berasal dari) orang lain. Maka kita harus berhati-hati memilih orang lain yang ada di sekitar kita. Kalau mereka membawa kebahagiaan bagi kita, dekati mereka. Kalau kita stress sama mereka, membuat kita menderita, marah, kesal, sebel, sedih, atau depresi, perbaiki hubungan, selesaikan masalah anda (kalau bisa), kalau tidak, ya tinggalkan.
Kadang ada yang bertanya,”Tapi mereka ada di WhatsApps group kampus saya dulu?”
Tinggalkan, leave that group. Bahkan WA group keluarga besar anda sekalipun, kalau ada yang toxic, dan tidak membuatr aura positif, tinggalkan.
“Tapi mereka ada di kantor saya?’. Perbaiki hubungan, selesaikan masalah, kalau bisa. Kalau tidak bisa, cari pekerjaan lain, tinggalkan pekerjaan itu.
“Tapi saya belum dapat pekerjaan lain, dan saya perlu gaji dari tempat itu?”. “Silahkan tinggal di situ. Anda sudah tahu resikonya. Dan kalau setelah anda sakit berkepanjangan, baik sakit fisik maupun gejala psikis, yang harus anda salahkan adalah anda sendiri, karena anda tahu resikonya, dan anda tidak berbuat apa-apa.
Bernard Herzog berpesan ke saya, sebelum pulang ke Perancis,”A la fin, on va choisir notre riviere. La rivere ou on va nager. “ Pada akhirnya kita memilih sungai kita sendiri. Kalau kita memilih sungai yang keruh, penuh dengan kotoran, kita akan sakit sendiri dan bisa mati tenggelam.
Kalau kita memilih sungai yang jernih, dan kita bisa berenang dengan tenang dan senang di dalamnya, maka kita akan menemukan kebahagiaan kita Dan sungai kebahagiaan itu, bagaikan mesin mobil kita kan? Kalau mobilnya terawat rapi, maka akan bisa melesat dengan kecepatan tinggi di jalan tol. Mesin yang kehabisan oli atau tidak terawat, jalan tersendat, dan lama-lama akan turun mesin.
Pilihlah sungai kita, tempat berenang dan mendapatkan kebahagiaan. Maka jiwa kita akan lebih bersih, dan kita akan bisa menyelesaikan lebih banyak masalah, dan berprestasi lebih baik lagi dalam kehidupan.
Sumber : https://id.linkedin.com/pulse/end-day-you-choose-your-own-river-pada-akhirnya-kita-sunarsihanto-exifc
- Kategori:
- Motivasi
Belum Ada Komentar