Melempem
Melempem
Melempem


Belakangan ini, saya merasa hidup saya seperti kerupuk yang melempem. Saya merasa rutinitas yang saya lakukan sepanjang tahun telah membuat hidup seperti kerupuk yang masuk angin. Tidakkah Anda merasakan hal yang sama seperti saya?

Rutin

Ini adalah agenda hidup saya setiap hari sepanjang tahun. Saya bangun pukul 03.00 atau kadang 03.30 pagi untuk berdoa. Melaporkan semua kegiatan yang akan saya jalani hari itu kepada Tuhan dan tentu tanpa melupakan sejuta permohonan. Setelah itu, saya melanjutkan tidur sampai pukul 05.30 pagi. Kemudian membaca Alkitab dan melanjutkan dengan sarapan yang menunya, yaa, itu-itu saja. Jus buah, roti gandum, jus buah, roti gandum. Setelah perut terisi, saya mulai tenggelam dalam kesibukan mengecek media sosial, yang menghabiskan baterai dari terisi penuh 100 persen menjadi tinggal 30 persen. Setelah mengetahui berita dan gosip di media sosial, saya melanjutkan aktivitas mengolah raga dengan berjalan kaki sekitar 45 menit. Kemudian mandi dan siap beraktivitas. Kalau saya katakan beraktivitas, itu bisa berarti macam-macam. Bisa hadir di kantor melakukan rapat untuk membahas sebuah proyek atau membuat proposal. Atau melakukan presentasi untuk memenangi sebuah tender. Aktivitas itu juga dapat berarti menghadiri beberapa undangan dari klien, yang belakangan semakin jarang datangnya. Terakhir, aktivitas itu dapat berupa kegiatan mengajar. Rutinitas itu tak berubah sampai tulisan ini dibuat. Mau hujan atau mau terik, mau libur atau tidak libur, yaa.., agendanya seperti yang saya sebutkan di atas. Saya bahkan bisa mengajar pada hari libur. Pada Sabtu dan Minggu, kegiatan ke kantor diganti dengan nonton atau berkumpul bersama teman-teman. Dan, teman-temannya, yaa, yang itu-itu saja. Pada suatu hari Minggu, saya ke rumah ibadah. Khotbahnya mengenai rutinitas yang menyebabkan kita tidak peka lagi terhadap banyak hal. Sepulang dari mendengar khotbah di hari Minggu berhujan itu saya seperti disetrum. Ya, saya menjadi tidak peka lagi. Seperti kerupuk melempem yang digigit, saya tak lagi terdengar kriuknya. Saya merasa bahwa rutinitas yang saya lakukan itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani saya. Namun, saya lupa bahwa hidup itu bukan untuk membuat rutinitas yang lama-lama membuat saya kehilangan kepekaan. Hidup itu bukan menciptakan rutinitas yang berakhir dengan menumbuhkan rasa malas untuk mengubah sesuatu yang formulanya sudah memberikan rasa nyaman. Hidup itu harus menjangkau banyak orang, menginspirasi banyak orang, dan bukan sekadar dijalani tanpa rasa.

Kaya, tetapi miskin

Saya berdoa lima kali sehari. Setiap pukul 12.00 siang saya mendedikasikan doa untuk semua orang. Saya menjangkau yang eksternal dengan doa dan selama ini saya merasa itu sudah cukup. Saya berdoa bagi mereka yang menderita, berdoa bagi mereka yang sedang menghadapi masalah. Namun, menjadi berbeda ketika saya datang dan melihat sendiri penderitaan dan kebutuhan orang lain. Menjadi berbeda ketika terjadi interaksi. Rasanya berbeda, eksperimennya berbeda, dan pada akhirnya membuahkan hasil yang tak hanya berhenti di dalam kegiatan berdoa yang rutin itu. Doa tidak dapat memberikan eksperimen fisik karena sifatnya spiritual. Sementara manusia membutuhkan keduanya. Baik eksperimen fisik maupun spiritual. Rutinitas telah membuat saya melupakan yang fisik. Doa menjangkau banyak orang, tetapi kegiatan fisik melahirkan keterikatan emosional. Satu anggota tim di kantor saya mengeluh di satu sore sebelum libur Lebaran tiba. Ia curhat kalau suasana kantor sudah berbeda. Diskusi yang dulu ada, sekarang semakin berkurang. Dulu sering mengobrol secara fisik, sekarang hanya melalui pesan di telepon genggam. Keterikatan emosionalnya nyaris hilang. Ia mengingatkan saya, di kantor lamanya hal seperti ini terjadi dan berakhir dengan bubar total. Saya mendoakan kantor dan usaha serta tim saya agar Tuhan memberkati setiap hari, saya datang ke kantor, saya melakukan presentasi, mencari uang agar perusahaan bisa berjalan, bisa membayar utang-utang. Akan tetapi, rutinitas itu membuat saya lupa bahwa tertawa dan membahas sesuatu di garasi setelah makan siang bersama tim, atau setelah nonton bersama ternyata memberikan pengalaman berbeda dan melahirkan keterikatan emosional. Saya yang awalnya merasa rutinitas saya itu akan menyelamatkan ternyata malah membuat saya jadi melempem. Saya merasa rutinitas telah sukses membuat saya seperti pisau yang tumpul. Bagaimana saya tidak tumpul? Lha wong rutinitas itu sudah membuat saya seperti robot. Saya menjalankan rutinitas itu dengan disiplin tinggi, tetapi tanpa rasa. Saya minum jus buah karena sudah rutin demikian, saya jalan kaki dan lari karena sudah rutin, saya berdoa karena sudah rutin begitu. Karena rutin, maka konten doa saya, ya, itu-itu saja sesuai dengan urutannya. Setelah mengucap syukur, minta ampun. Setelah minta ampun, minta dijawab permohonan doanya. Terus saja begitu. Rutinitas tidak membuat saya menjadi seorang influencer. Saya tak dapat memengaruhi orang lain untuk maju melalui rutinitas itu. Rutinitas tidak menawarkan lebih banyak kesempatan baru, tidak memberikan banyak pengalaman hidup yang baru sehingga saya bisa menjadi manusia yang lebih "kaya". Sepulang dari rumah ibadah itu saya justru merasa kalau saya ini adalah orang kaya yang paling miskin.


Sumber: Harian Kompas tanggal 16 Juni 2019 oleh Samuel Mulia

Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar