Infrastruktur (seharusnya) Membangun Budaya
Infrastruktur (seharusnya) Membangun Budaya
Infrastruktur (seharusnya) Membangun Budaya

Mungkin sekitar pertengahan tahun 1978. Saya berlibur, ikut teman naik mobil  dari Bandung ke Jakarta. Sebelum masuk Bogor, sedan Datsun 120 Y, buatan 1972, warna kuning, yang disetir pemiliknya membelok ke kanan.

Tiba-tiba, jalan raya yang luas dan panjang, bersih dan rapi, tanpa hambatan dan halangan, membentang di depan mata. Saya tertegun melihat penggalan jalan semegah itu, sampai  sang teman menjelaskan bahwa ini jalan raya berbayar pertama di Indonesia. Jalan yang menghubungkan pinggiran Bogor sampai Cawang, Jakarta Timur, dinamakan jalan tol JAGORAWI.

Saat itu JAGORAWI masih  gres. Infrastruktur yang dibangun dengan dukungan ahli dan teknologi Rusia itu, diresmikan bulan Maret 1978 oleh Presiden Soeharto, dan menandai masuknya era jalan moderen. Karena berbayar, diharapkan lancar, dan tidak macet. Tapi, bukan soal lancar atau macet yang ingin saya sampaikan, tetapi infrastuktur “baru” telah membangun budaya baru dalam berkendara. “JAGORAWI creates culture”.

Begitu kami masuk JAGORAWI, cara sang teman memutar kemudinya terlihat berubah. Timbul kehati-hatian tanpa ada yang memerintah. Deretan kendaraan mengatur dirinya masing-masing dengan ritmis dan tertib. Antrean mobil berbaris teratur di jalur kiri.

Bila mau mendahului, dinyalakan lampu sein kanan, baru menyalib dan kembali ke jalur kiri lagi, sambil tak lupa menghidupkan sein kiri. Klakson jarang terdengar, memotong jalan adalah  tabu dan menyalib dari kiri tak terlihat. Sopir yang ugal-ugalan mendadak sontak berubah santun. Ajaib, tertib berlalu lintas keluar dengan sendirinya ketika JAGORAWI baru diresmikan.

Sekian tahun kemudian, JAGORAWI mulai memanjang dan menyambung ke berbagai arah, budaya tertib sedikit demi sedikit mulai pudar. JAGORAWI tak berhasil menahan budaya disiplin berkendara. Tak lagi ada bedanya mengendara di jalan tol atau pun nontol. Ketika kini  Infrastuktur jalan tol sudah merambah ke berbagai pelosok negeri, budaya itu tak tersisa lagi. Padahal, (pembangunan) infrastuktur seharusnya juga melahirkan budaya. Dan sesuai kesepakatan umum, kata “budaya” adalah kumpulan perilaku mulia.

Ada contoh infrastruktur yang berhasil melahirkan budaya, paling tidak bisa bertahan sampai sekarang, yaitu Kereta Api. Simak apa yang terjadi di dunia perkeretaapian sampai dengan 10 tahun lalu. Perusahaan merugi terus, stasiun dan gerbong kotor, toilet jorok, loko banyak rusak, kecelakaan tinggi, calo merajalela, reservasi tiket kacau balau, aksi kriminalitas jamak terdengar, keterlambatan menjadi hal yang biasa, penumpang berdesak-desak dan nongkrong di atap gerbong. Daftar aib yang bisa ditambah lebih panjang lagi.  

Setelah bertransformasi, saat ini KA selalu dikaitkan dengan orang-orang yang tertib, disiplin, bersih, tepat waktu, nyaman, dan aman. Begitu menginjakkan kaki di halaman stasiun, dorongan berperilaku tertib langsung muncul. Seolah melihat masyarakat yang lebih berbudaya dibandingkan yang berada di luar pagar stasiun.

Proses transformasi KA sangat menarik untuk dijadikan contoh bagi infrastuktur lainnya. “Infrastructure may creates culture”.

Amat sayang, bila infrastruktur hanya menghasilkan peningkatan pelayanan yang ekstrinsik dan kasat mata saja, sementara perilaku penggunanya tak berubah. Tanpa perubahan perilaku, peningkatan pelayanan tak akan bertahan lama.

Ada persyaratan yang harus dipenuhi bila infrastruktur ingin (juga) mentransformasi budaya. Total pelayanan harus sempurna. Output harus prima. Pemberi dan penerima pelayanan harus sama-sama bermartabat, bahagia dan sejahtera.  “We are ladies and gentlemen serving ladies and gentlemen”. (Motto at the Ritz-Carlton Hotel Company).

KA yang datang terlambat dan stasiun yang kotor tak mungkin mengubah manusia menjadi disiplin. Jalan tol yang  overcapacity, tak akan menciptakan perilaku tertib berlalu-lintas. Bandara yang kerap memaksa pesawat antre panjang untuk lepas landas, tak mungkin membentuk budaya tepat waktu. Rumah Sakit yang  repot dengan dokter yang sulit on time, tak bisa melahirkan budaya sehat bagi pasiennya. Pembangkit listrik yang mangkrak, sia-sia mendongkrak manusia menjadi lebih sejahtera. Pelabuhan laut yang diwarnai pungli, mustahil melahirkan manusia jujur.  

JAGORAWI yang (pernah) menciptakan budaya tertib dan KA yang berhasil membuat penumpang disiplin menjadi contoh bagaimana infrastruktur  bisa juga membangun masyarakat. Kita tidak hanya membangun fisik yang megah dan indah tapi juga sekaligus masyarakat yang tertib, santun, toleran dan ramah-tamah.

“Infrastructure not only to improve physical services but also to build communities”. (anonim)

Artikel disadur dari tulisan @pmsusbandono
7 Mei 2018

Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar