Dari Literasi Kartini Terbitlah Emansipasi dan Edukasi Masa Kini
Dari Literasi Kartini Terbitlah Emansipasi dan Edukasi Masa Kini
Dari Literasi Kartini Terbitlah Emansipasi dan Edukasi Masa Kini

Belajar dari rumah telah masuk di pekan kelima di Indonesia. Pengalaman belajar yang unik dan babak baru sedang dirasakan oleh sebagian besar peserta didik di seantero nusa. Tatap muka tidak menjadi harga mati untuk menerima edukasi dari sang penyaji (baik itu Guru maupun fasilitator pendidikan lainnya). Metode pembelajaran jarak jauh menjadi sebuah gaya baru dalam sistem pendidikan sekolah di masa pandemi ini.

Bulan April di tanggal 21, merupakan hari dimana kita peringati tokoh emansipasi wanita, R.A. Kartini. Momen Kartianian kali ini tentu akan  dirasakan berbeda oleh sebagian besar kalangan. Dari tingkat keluarga, sekolah, lembaga pendidikan, sampai di lini bangsa. Biasanya di sekolah-sekolah yang memperingati Kartini, hari-hari sebelumnya sudah akan terdengar gaung kerepotan dan ribetnya rencana yang akan dilakukan.

Berkenaan dengan menggunakan kostum ala Kartini apa, kebaya bergaya apa, konde apa yang akan dikenakan untuk ikut memeriahkan peragaan busana atau kemeriahan acara peringatan Kartini yang lain. Nada yang sama dirasakan juga oleh lembaga-lembaga lain yang turut mengadakan lomba Kartini dengan menyajikan kreasi tumpeng, rangkai bunga, membuat kreasi makanan-makanan unik, dan lain sebagainya. Saat PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang sedang diberlakukan kali ini, dipastikan, peringatan Kartini tahun 2020 akan mengalami nuansa yang berbeda.

Menelisik Kartini yang lahir di Jepara, tanggal 21 April 1879, dan wafat pada 17 September 1904 di Rembang, merupakan tokoh inspirasi banyak wanita Indonesia dalam hal emansipasi. Prinsip equal dalam hal profesi, akses pendidikan, pemenuhan hak serta kewajiban, dan lain sebagainya mengalami perkembangan sangat signifikan. Tolok ukur pemikiran Kartini di negeri ini menjadi warna yang melapisi dasar untuk berpikir, bertindak, berkarya, serta berkreasi. Sebut saja Ibu Susi Pudjiastuti, Ibu Sri Mulyani Indrawati, Ibu Retno Marsudi, Ibu Pratiwi Sudarmono, Mbak Najwa Shihab, Susi Susanti, Ibu Nila Moeloek, Rosiana Silalahi, merupakan sebagian deretan kecil nama perempuan Indonesia yang bisa menjadi teladan dan inspirasi dalam melanjutkan cita-cita Kartini.

Kartini dalam bidang edukasi merupakan salah satu pilar serta soko guru juga bagi pendidikan di Indonesia, tentunya disamping Ki Hadjar Dewantara yang terkenal dengan Taman Siswanya. Kartini saat masa hidupnya, banyak memberikan kontribusi literasi dan edukasi bagi negeri ini. Sekolah Kartini merupakan warisan yang ditinggalkan beliau dalam memelopori kebangkitan kemerdekaan perempuan di Indonesia.

Berkaitan dengan literasi dan edukasi saat pandemi ini, Kartini setidaknya pernah mengalami masa-masa belajar sendiri dengan melakukan korespondensi dengan teman-temannya di negeri Belanda. Setelah lepas usia 12 tahun, maka Kartini harus berhenti mengenyam pendidikannya di ELS (Europese Lagere School), sebuah sekolah Belanda yang diperuntukkan kepada kaum bangsawan Indonesia untuk belajar pada masa itu. Mengapa Kartini harus berhenti mengenyam pendidikan di sekolahnya di usia 12 tahun?

12 tahun merupakan waktu yang tepat untu memulai masa pingitan, yang kemudian, perempuan tersebut akan dinikahkan dengan pria melalui perjodohan. Duuh, kasian,ya. Maka diberlakukan sebuah peraturan saat itu, bagi perempuan yang telah berusia 12 tahun harus berhenti beraktivitas dari sekolah dan memulai masa pingitan tersebut di rumah.

Pengalaman ini yang kemudian juga menjadi sebuah gugatan atau protes yang dikemukakannya dalam surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Belanda. Selepas usia 12 tahun, Kartini yang sedang semangat-semangatnya belajar melakukan aktivitas literasi sendiri dengan cara korespondensi dengan teman-temannya di Belanda.

 

Dengan mengembangkan korespondensi (surat-menyurat), Kartini remaja memuaskan hasrat belajar-nya sendiri dengan memperoleh pengetahuan hasil tukar pemikiran, serta tukar pandangan dengan sahabat-sahabatnya, salah satunya bernama Rosa Abendanon. Kartini saat itu telah dapat menguasai bahasa Belanda, dilansir dari Wikipedia, dan laman Kompas.com (13/12/19).

Kartini pada masa itu pernah mengirimkan tulisan-tulisannya juga pada majalah terbitan Belanda, De Hollandsche Leile, sebuah majalah wanita Belanda.  Ini menjadi bukti nyata kepada kita, di masa itu, Kartini telah memulai metode belajar dengan mengasah kemampuannya dalam literasi yang kemudian dibagikannya di media cetak (majalah) luar negeri.

Buah pemikiran mengenai keseteraan gender, kesempatan untuk mengecap pendidikan sederajat dengan kaum pria, serta protes-protes-nya terhadap sistem sosial adat-istiadat budaya Jawa pada masa itu (yang mengungkungnya dan juga saudara-saudara perempuannya) dituangkan dalam surat-surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda yang akhirnya bermuara dengan diterbitkannya sebuah buku pada masa Van Deventer (tokoh politik Etis pada jaman penjajahan Belanda), dengan judul Door Duisternis Tot Licht. Buku tersebut akhirnya diterbitkan oleh Balai Pustaka juga pada tahun 1922, dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, yang populer kita kenal.

Dampak literasi Kartini yang kuat, bisa membangkitkan semangat perempuan-perempuan Indonesia pada akhirnya, untuk mengecap, dan mengalami arti serta pentingnya edukasi tanpa diskriminasi.  Bermula dari tulisan-tulisan mengenai buah pemikirannya yang ditujukan kepada sahabat-sahabatnya, akhirnya mampu menjadi salah satu tonggak kebebasan, kemerdekaan perjuangan emansipasi perempuan khususnya dalam hal pendidikan serta kedudukan sosial, yang gema dan dampaknya sampai saat ini bisa kita rasakan.

Keterkaitan Literasi dan Edukasi Kartini pada masa sekarang.

Saat pembelajaran online saat ini, jangan pernah menyurutkan langkah kita untuk selalu belajar. Inspirasi Kartini dengan rasa ingin tahu-nya yang besar, menciptakan pengalaman belajar sendiri dengan cara korespondensi (ini juga salah cara satu pembelajaran jarak jauh saat itu, lho) yang dilakukannya. Tidak peduli dengan jarak, serta tempat, keinginan berbagi ilmu, dan pengalaman dengan konsisten dikerjakannya. Juga keinginan untuk mendapatkan ilmu, dan pengalaman dari teman-temannya di Belanda terus digencarkannya walaupun banyak rintangan yang menghalangi.

Rasa ingin menggapai kesetaraan gender, dan rasa ingin bebas dari belenggu sistem sosial saat itu membawanya menjadi pribadi yang percaya diri dengan membagikan tulisan-tulisannya di sebuah majalah wanita luar negeri di Belanda. Hal ini menyiratkan pesan, dalam keadaan apapun keinginan untuk maju dan tidak stagnan, menjadi roda penggerak semangat Kartini untuk berkarya.

Sebuah inspirasi memberi diri bagi masyarakat pun menjadi makna harum yang ingin ditebar oleh Kartini. Tidak berhenti untuk memperjuangkan dirinya sendiri, tetapi Kartini berpikir untuk bisa menjadi berkat pula bagi orang lain, dengan membagikan kemampuan literasinya kepada perempuan-perempuan yang belum mengenyam pendidikan yang layak kala itu. Poin yang penting untuk dijadikan teladan bagi kita yang hidup pada era ini.

Sosok Kartini benar-benar memberi dampak yang membangun bagi kaum perempuan khususnya. Edukasi dan literasi pendidikan yang dilakukannya juga berdampak sangat luas nagi kemajuan pendidikan kaumnya. Sejatinya, hal ini terus harus dikembangkan sehingga memberi manfaat luas yang membawa kemajuan bangsa.

Agak berandai-andai dikit, yah. Seandainya Kompasiana sudah ada pada masa itu, tentu R.A. Kartini menjadi blogger produktif yang tulisan-tulisannya selalu menjadi Headline. Taburan semangat literasi dan edukasi dalam tulisannya akan menjadi benih, yang kelak akan membuahkan pribadi-pribadi yang mewarnai kemajuan bangsa ini.

Selamat hari Kartini.

Sumber :

http://www.kompasiana.com/nitakristantionoer/5e9d4b45097f3675112e6632/dari-literasi-kartini-terbitlah

oleh Nita Kris Noer.

Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar