MOOD
MOOD


Pernah merasakan bad hair day? Dalam bahasa sehari-hari, kita menyebut perasaan itu sebagai “be-te”, suatu perasaan tak enak dalam diri tanpa bisa menjelaskan dengan pasti apa penyebab sesungguhnya.


DI perusahaan, kita sering juga menemui permasalahan suasana hati ini. Pernahkah Anda mendengar pertanyaan, “apakah hari ini bos sedang bermuka cerah dan enak diajak bicara?” “apakah ia in a good mood?”, seolah-olah seorang pemimpin memang biasa dan berhak untuk memiliki mood tertentu.


Kita juga sering mendengar komentar, “dia pintar sih, tapi tidak bisa mengendalikan emosinya” atau “pemikirannya sangat brilian, tetapi banyak yang takut padanya bila sedang emosi”. Pertanyaannya, apakah mood penting pengaruhnya terhadap kompetensi seseorang bila dibandingkan dengan kecerdasan, beban kerja, dan tanggung jawab? Sejauh mana sebenarnya mood itu berpengaruh terhadap suasana kerja?


“Mood” itu menular  

Susan Scott dalam bukunya, Fierce Conversations: Achieving Success at Work and in Life, One Conversation at a Time, menyebutkan istilah “The Emotional Wake”, yang dampak dari pembicaraan yang tidak suportif akan terbawa sampai waktu yang cukup lama. Contoh sederhananya ketika atasan tidak menyetujui permohonan cuti, padahal Anda sudah meyakinkannya bahwa semua tanggung jawab pekerjaan Anda di proyek bisa diselesaikan sebelum cuti.

Bila diskusi ini tidak positif, bayangkan bagaimana suasana hati kita dalam meneruskan proyek tersebut. Sebaliknya, bilamana atasan menyetujuinya, semangat kerja Anda akan menggebu-gebu, bahkan mungkin bisa menyelesaikan proyek tersebut jauh sebelum jadwal cuti Anda. Bandingkan kedua situasi. Bukankah terasa perbedaan produktivitas yang dihasilkan?

Bayangkan situasi di mana para pimpinan perusahaan senantiasa bertengkar satu sama lain dan sindir-menyindir. Bagaimana bekerja di tempat dengan “toxic environment” seperti ini? Bisa-bisa orang pun enggan bekerja di sana.

Turun-naiknya mood seorang pemimpin juga membawa ketidakpastian. Mood pemimpin yang stabil dapat membawa kepercayaan para pengikutnya. Predictability engenders trust.


“Mood” yang tepat

Manusia memang dibekali emosi yang sangat beragam. Banyak orang yang sepanjang hidupnya tidak berlatih mengendalikan suasana hatinya. Ia membiarkan mood-nya, baik positif ataupun negatif mengalir begitu saja. Mengendalikan emosi ini memang tidak mudah. Apalagi bagi seorang pemimpin yang tentunya kerap menghadapi masalah berat. Kita bayangkan bagaimana presiden kita tetap mampu tampil tenang meskipun dihina, difitnah, dan dimusuhi oleh lawan politik dan pengikut mereka. Ia sadar bahwa seluruh rakyatnya mengamati segenap gerak geriknya dan lawan politiknya akan mengambil kesempatan bila sedetik saja ia lengah tanpa kontrol.

Hal paling efektif yang dapat dilakukan seorang pemimpin dalam menangani emosi dirinya sendiri adalah tetap menampilkan optimisme dalam situasi apapun. Ini yang disebut sebagai “dynamic resonance”. Tentunya kita tidak berharap seorang pemimpin tersenyum dalam keadaan kritis atau ketika kinerja perusahaan terpuruk. Namun, optimisme, keyakinan untuk dapat keluar dari situasi kritis akan memberi harapan dan kekuatan bagi anak buahnya.

Orang bisa emotionally attractive dan terampil memberi nada positif untuk membuat kelompoknya lebih engage dan terinspirasi. Ia mampu membaca suasana sekitar dan bisa mengatur mood-nya agar tetap beraura positif dan terasah kemampuan intuitifnya. Einstein mengatakan: “The intuitive mind is a sacred gift and the rational mind is a faithful servant. We have created a society that honours the servant and has forgotten the gift.”


“Being present”

Pemimpin yang “keren” biasanya mampu mengatasi trauma masa lalu-nya dan tidak terganggu dengan ketidakjelasan masa depan. Ia mampu berada in the moment dan menunjukkan kesiapannya menghadapi situasi. Bagaimana melatih diri agar mampu bersikap demikian?

Pertama, praktikkan self monitoring. Lakukan sense check pada pagi hari, apakah fungsi audio visual, kinestetik, rasa, dan raba kita masih tajam dan siap untuk menghadapi situasi hari ini. Kenali mood kita hari ini dan suntikkan tiga hal: harapan, optimism, dan sense of humor.

Kedua, tingkatkan responsive awareness. Biasakan mengendus, merasakan lingkungan dengan kelengkapan pancaindra kita. Kita perlu segera merasakan apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Apakah ada kemarahan, keresahan, dan ketakutan yang tidak terucap? Bila pemimpin tidak merasakan kejanggalan, ia akan kehilangan kesempatan mendapatkan informasi yang tepat.

Ketiga, biasakan active mood management. Dengan menyadari bahwa mood kita sebagai pemimpin menular, kitalah yang perlu memiliki kesadaran tinggi untuk mengatur mood. Kita perlu mengatur kata-kata apa yang kita keluarkan, raut wajah yang kita ekspresikan, serta bagaimana kita dalam keadaan terjepit sekalipun masih bisa menebar aura optimisme.

Keempat, praktikkan deep listening. Biasanya seorang pemimpin sukses sudah teruji keterampilannya untuk mendengar dari beberapa sumber sekaligus. Seluruh indranya dikerahkan untuk menangkap sinyal-sinyal body language, nada, irama, gerak-gerik, dan kata-kata. Tujuannya selalu “know it, feel it, dan relax”.

Kelima, promosikan hidup yang mumpuni dan at ease. Seorang pemimpin yang masih disibukkan oleh ketegangan-ketegangan pengembangan dirinya tidak bisa memfokuskan perhatiannya pada orang lain. Ia harus sudah berdamai dengan dirinya agar bisa memberi perhatian penuh pada orang lain. Sudah tidak ada lagi kebutuhan untuk selfishness. Ia harus kokoh dan mengakar, siap menerima keluhan tanpa harus tergoyahkan. Bahkan, dalam keadaan tertekan pun, ia harus bisa mencari solusi secara kreatif dan inovatif. Goleman (2006) mengatakan, “Laughter may be the shortest distance between two brains, an unstoppable infectious spread that builds an instant social bond.”

Keenam, mempraktikkan “straight-talk”. Bersikap positif bukan berarti bahwa kita perlu menyembunyikan pendapat kita. Kita perlu tetap berpegang teguh pada prinsip kebenaran. Ya berarti ya dan tidak tetap berarti tidak. Integritas tetap harus dipegang teguh.


Sumber : Harian Kompas Edisi 10 Agustus 2019 oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob.


Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar