Futurism: Economy of Faith and Hope
Futurism: Economy of Faith and Hope
Futurism: Economy of Faith and Hope

Futurism: Economy of Faith and Hope

BEBERAPA teman yang berbisnis menanyakan kepada saya apakah tahun depan ekonomi akan oke atau tidak. Tak perlu waktu lama untuk saya berpikir, saya langsung menjawabnya dengan sedikit diplomatis: “Kalau kamu yakin ekonomi tahun depan akan oke, maka akan oke. Kalau kamu yakin ekonomi tahun depan tak lebih baik dari tahun ini, maka ekonomi tahun depan yah begitulah. Jadi, have faith my friend.” Lucunya, dulu saya juga punya kebiasaan yang sama, suka bertanya ke banyak orang apakah masa depan akan lebih baik ,atau sebaliknya lebih buruk. Jawabannya macam-macam, tapi saya hanya ambil beberapa saja yang kedengarannya enak di kuping. Saya termasuk orang yang sangat optimistis. Bukan berarti saya sembrono membiarkan hidup mengalir begitu saja, dan membiarkan apapun yang terjadi, terjadilah. Pekerjaan saya menuntut saya melihat potensi dan risiko masa depan dengan teliti, sehingga hasil observasi saya dapat memberikan panduan terhadap kebijakan-kebijakan korporat yang resikonya terkendali namun peluang suksesnya masuk akal. Kali ini saya akan sharing-kan pengalaman saya mengikuti sesi di Stanford bersama seorang futurist muda yang juga game designer yang saat ini menjadi bagian penting dari tim di IFTF (Institute For The Future), Dr. Jane McGonigal. Namanya sudah masuk sebagai salah satu global games guru.

Apakah besok bebih baik?
Dalam bukunya “Reality is Broken”, McGonigal mendorong agar industri – dan juga kita semua - berinvestasi pada dunia dan ekosistem virtual untuk memperbaiki dunia nyata. Awalnya saya bingung. Lalu kami disadarkan bahwa segala sesuatunya diciptakan dua kali: pertama, dalam imajinasi dan benak, yang ke dua, dalam implementasi riil. Bukankah Michelangelo ‘memahat’ patung Pieta dalam benaknya dahulu sebelum palu dan tatahnya benar-benar menembus bongkahan marmer italia yang anggun itu? Benar juga. McGonigal berhasil menyampaikan maksudnya. Tom Chatfield dari The Guardian yang membuat resensi mengenai buku “Reality is Broken” tersebut mengingatkan kepada kita bahwa secara tradisional, fiksi ilmiah telah meramalkan tiga kemungkinan masa depan: the stable, the exponential, dan the solopsistic. Jangan khawatir soal terminologi yang susah diucapkan ini. The Stable berarti equilibrium, keseimbangan yang tercapai pada suatu titik di masa depan. The Exponential merujuk pada percepatan berlipat ganda, ada unsur terobosan besar di mana pertumbuhan seperti ukuran bola salju yang menggelinding ke bawah. Nah yang ketiga, The Solopsistic, ini sungguh aneh, karena menyangkut semacam retreat – gerak mundur, untuk maju kembali ke dalam dunia yang sama sekali baru. Dalam hal ini, konteks dunia baru tersebut mengacu pada virtual world. Game Design seperti yang diungkapkan oleh McGonigal dalam bukunya menjadi metafor bagaimana dunia virtual dan dunia real adalah sumber daya terbaik untuk berpikir tentang ‘meramalkan masa depan’.Dan bila mengacu pada algoritma berpikir seorang futurist seperti McGonigal, maka saat ini di mana shifting terjadi secara besar-besaran, ini adalah saat pertumbuhan eksponensial terjadi hampir di seluruh industri. Sepuluh atau dua puluh tahun lalu kita sudah memikirkan soal hari ini dalam bentuk fiksi ilmiah, dan hari ini adalah penciptaannya yang kedua kali – meminjam metafora Michelangelo yang memahat patung Pieta "dua kali". Mengikuti sesi McGonigal di Stanford, dilanjutkan kunjungan ke beberapa perusahaan teknologi di Silicon Valley, membuat saya berpikir, barangkali inilah yang membuat siapapun – all the genius from all over the world – yang bekerja dan berkarya di Lembah Silikon dan lembah-lembah teknologi lainnya di seluruh dunia menjadi pribadi-pribadi yang tak khawatir soal masa depan. Mereka adalah orang yang tak mau menunggu masa depan hadir di depan pintu rumah mereka. Mereka adalah pencipta-pencipta masa depan. Jujur saja, merekalah masa depan itu!

Futurism, ciptakan dulu di benakmu
Futurism – atau di belahan dunia lain juga dijuluki Futurama – memakai cara berpikir yang sama. Bila kita sudah mengendalikan sebagian dari masa depan (penciptaan pertama), maka tak ada yang perlu dikhawatirkan. Apa yang disebut-sebut ‘kejutan masa depan’, atau ‘future shock’ hanyalah kegundahan orang-orang awam seperti saya dan mungkin sebagian pembaca, karena pada akhirnya kesemuanya itu bukanlah sesuatu yang tak bisa kita prediksikan atau antisipasi jauh hari. Terkait dengan solopsistic future, dalam pidato di acara wisuda di Universitas Stanford tahun 2005, CEO dan pendiri Apple Steve Jobs menyatakan demikian: “Kamu tidak bisa menghubungkan titik-titik dengan melihat ke depan, kamu hanya bisa melakukannya dengan melihat ke belakang. Kamu harus percaya bahwa titik-titik itu – benang merah itu – dengan cara sedemikian rupa akan menghubungkan masa depanmu. Kamu harus percaya pada nyalimu, takdirmu, karmamu  hal-hal itu membuat perbedaan besar dalam hidupku.” Inilah periode ‘retreat’ yang dimaksudkan Tom Chatfield dan McGonigal. Nasihat Steve Jobs soal menghubungkan titik-titik di masa lalu akan membantu kita melihat potensi trajektori – lintasan – menuju masa depan adalah hal yang sangat masuk akal. Futurism selalu berbicara soal probabilitas berdasarkan pola masa lampau. Pola masa lampau inilah bahan baku kita untuk menciptakan dunia virtual dengan fleksibilitas tanpa batas untuk berimajinasi, sementara dunia riil belum terjadi.

Faith and hope
Saya berharap beberapa teman yang menanyakan kepada saya apakah masih ada hari esok untuk bisnis-bisnis mereka juga bisa belajar memahami hal ini. Bukan soal self-fulfilling prophecies, nubuatan yang terjadi karena kita mempercayainya, tetapi bahwa melihat kemungkinan-kemungkinan di masa depan adalah sesuatu yang lumrah dan masuk akal. Apakah tahun depan ekonomi akan baik-baik saja? Saya optimistis, tahun depan tak hanya ekonomi yang akan lebih baik lagi, tapi kita juga akan menjadi manusia yang lebih bijaksana melalui hari-hari bersama dengan 260 jutaan saudara-saudari kita sebangsa setanah air ini. Dan bila keraguan tiba, mari kita refleksikan apakah kita yang ada di puncak rantai makanan ini akan menyerah pada nasib dan masa depan? “Never let the future disturb you. You will meet it, if you have to, with the same weapons of reason which today arm you against the present.” ? Marcus Aurelius. Have faith!



sumber: ekonomi.kompas.com

Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar